Tentang Napas

Rianto Astono
5 min readJul 13, 2021

--

Kita jarang memperhatikan napas kita.

Padahal itu adalah ciri terpenting kehidupan, yang membedakan antara mati dan hidup.

Soalnya mungkin, napas merupakan sesuatu yang secara refleks kita lakukan. Tanpa perlu dipikir terlalu banyak, kita akan secara otomatis bernapas 24 jam sehari, setiap hari, sampai pada akhirnya kita mati.

Faktanya, dari 3 materi utama yang masuk ke dalam tubuh kita justru udaralah yang sebetulnya punya porsi terbesar:

Kita mengonsumsi 1–2 kg makanan setiap hari
Kita mengonsumsi 2–3 kg cairan setiap hari
Dan kita mengonsumsi 10–20 kg udara setiap hari.

Tapi yang selalu kita pusingkan hanyalah melulu tentang makanan atau minuman yang sehat. Anehnya kita tidak terlalu peduli dengan cara bernapas atau udara yang sehat.

Topik mengenai napas ini diulas dengan sangat baik dan mendalam di buku berjudul Breath: The New Science of a Lost Art, ditulis oleh jurnalis James Nestor, salah satu penulis favorit saya, yang juga menulis buku populer lainnya berjudul Deep, juga salah satu buku favorit saya.

Buku ini berisi riset mendalam mengenai napas serta pengalaman penulisnya yang mengalami masalah panjang dengan pernapasan disertai eksperimen-eksperimen cukup ekstrim yang ia lakukan.

Bagi saya, buku ini merupakan salah satu buku terbaik karena berisi informasi yang mampu memberikan perspektif berbeda dan kemungkinan akan mengubah kebiasaan serta mengubah hidup saya.

Premis dari buku ini adalah:

“Tak peduli apa yang kamu makan, seberapa banyak kamu berolahraga, bagaimanapun bentuk tubuhmu, semua itu tak ada gunanya jika kamu tidak bernapas dengan benar.”

Napas, menurut Nestor, bukanlah sesuatu yang baru. Di berbagai kebudayaan, cara bernapas yang baik telah dipelajari sejak ribuan tahun silam. Hanya saja topik ini memang kerap dilupakan.

Jadi, pertanyaannya: bagaimana bernapas yang baik dan sehat?

Jawabannya sederhana: bernapaslah hanya menggunakan hidung.

Dari riset yang dilakukan, ternyata tak semua orang melakukannya, bernapas dari hidung itu. Bahkan 90% dari kita adalah mouth breather, yang tak sadar terlalu sering bernapas melalui mulut.

Nextor mengaitkan kebiasaan mouthbreathing ini dengan evolusi manusia yang punya struktur rahang yang semakin memanjang dan mengecil akibat kebiasaan makan dan mengunyah kita yang berubah dari waktu ke waktu.

Faktanya, sebagaimana yang ditulis di buku, manusia adalah satu-satunya spesies yang punya susunan gigi berantakan.

Bahkan nenek moyang kita, manusia purba punya struktur gigi yang rapi. Demikian pun dengan hewan-hewan yang tak punya gigi compang-camping seperti manusia. Padahal di zaman purba dan di dunia hewan, tak ada dokter gigi atau tukang pasang behel.

Selain itu, manusia pula satu-satunya spesies yang punya penyakit bernama sleep apnea, yang kerap mengakibatkan kematian saat tertidur.

Bernapas dari mulut adalah cara untuk mengkonsumsi udara yang sangat buruk dan merugikan kesehatan.

Pada hewan, bernapas melalui mulut adalah tanda kondisi tubuh yang sedang tidak baik, seperti anjing yang sedang kepanasan. Bahkan kuda yang berlari kencang pun tak bernapas melalui mulutnya.

Lebih jauh, untuk membuktikannya secara ilmiah, bahkan si penulis rela melakukan eksperimen dengan memasukkan kawat kecil dalam rongga hidungnya dengan operasi untuk membuatnya hanya dapat bernapas melalui mulut selama 10 hari dan melakukan berbagai tes serta pengukuran pada tubuhnya.

Tak perlu waktu lama sebelum tekanan darahnya naik, merasa tidak berenergi, tidur mengorok hingga berjam-jam dan semua kekacauan lain dalam tubuhnya.

Setelah itu, ia pun melakukan test bernapas hanya melalui hidungnya dengan memplester bibir. Dalam sekejap ia merasa lebih baik. Dalam 3 hari, durasi dengurang tidurnya menurun dari 4 jam menjadi hanya 10 menit.

Secara ilmiah, dari berbagai studi dan kajian, mouthbreathing dapat memicu banyak hal buruk pada tubuh kita, mulai dari masalah paru-paru, masalah gigi, gangguan tidur, darah tinggi, diabetes, gangguan jantung, disfungsi ereksi hingga kanker.

Maka bernapas yang baik adalah kunci hidup yang sehat. Bernapas dari hidung akan membuat udara tersaring, dilembabkan dan dipanaskan oleh organ yang memang dirancang untuk melakukan aktivitas tersebut.

Meski bernapas adalah refleks otomatis pada tubuh kita, mungkin kita perlu untuk menyimak dan mengaturnya sedemikian rupa agar dapat bekerja dengan baik dan maksimal sehingga membentuk habit bernapas yang lebih sehat. Refleks yang lebih sehat.

Di dalam buku Breath, penulis berpetualang ke banyak tempat untuk mempelajari seni pernapasan yang dilakukan di berbagai negara, bagaimana itu dapat membuat penyelam bebas mampu bertahan sangat lama di dasar laut tanpa tabung pernapasan, bagaimana atlit dan olahragawan serta penyanyi dapat mengoptimalkan aktivitasnya hanya dengan mengatur napasnya, bagaimana napas dapat menyembuhkan tak hanya penyakit fisik melainkan juga spiritual, semua dipaparkan dan diceritakan dengan sangat menarik di buku ini.

James Nestor membagikan sebuah teknik yang paling optimum setelah serangkaian eksperimen yang ia lakukan: 5 setengah detik tarik dan 5 setengah detik hembus, semuanya melalui hidung dengan napas hingga ke perut yang akan mengembangkan diafragma hingga paru-paru dapat menyerapnya secara optimal.

Semenjak membaca buku ini, saya sendiri mulai lebih sering menyadari napas saya dan mengaturnya agar senantiasa dilakukan melalui hidung. Inhale dan exhalenya. Tarik dan hembusnya. Tak sepanjang waktu memang, tapi sedapat mungkin saat teringat saya akan membetulkan napas.

Saya yakin jika melakukan ini setahap demi setahap, ia dapat menjadi kebiasaan jangka panjang yang menyehatkan.

Kita barangkali perlu mengambil waktu beberapa menit hingga jam dalam sehari hanya untuk membetulkan napas kita, entah apa pun nama kegiatannya, mau meditasi kek atau merenung kek atau refleksi kek. Intinya saat itulah kita membenarkan cara kita bernapas.

Jadi, bernapas dari hidung adalah hal yang pertama harus kita lakukan.

Selanjutnya, kita mulai belajar bagaimana untuk mengoptimalkannya dengan durasi panjang pendek sesuai dengan kebutuhan kita, misalnya untuk rilex, setelah bangun tidur, sedang olahraga dan yang kita lakukan sepanjang hari.

So, kesimpulannya …

Mulai sekarang, bernapaslah selalu hanya menggunakan hidung, sedapat mungkin bahkan saat Anda sedang berolahraga. Tarik dan hembusnya. Inhale dan exhale nya.

Lakukan itu sepanjang hari, terutama saat tidur.

Jika Anda memiliki pasangan atau teman atau orangtua, beritahu mereka untuk menutup mulut Anda pelan-pelan jika melihat Anda bernapas melalui mulut saat sedang tidur.

Sebagai orangtua, kita dapat memerhatikan anak kita terutama yang masih kecil saat merek tidur. Angkat dagunya secara perlahan jika mereka bernapas melalui mulut dan selalu biasakan anak-anak bernapas melalui hidungnya sehingga dapat jadi kebiasaan yang dapat tetap mereka lakukan hingga dewasa.

Jika memungkinkan, saya sangat menyarankan Anda untuk membaca buku ini.

Saat tulisan ini dipublish, buku Breath telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang dapat Anda beli disini: https://invol.co/cl515tz

RA

Originally published at https://riantoastono.com.

--

--

Rianto Astono

an author, book obsessive, writing enthusiast, blogger. Internet marketer since 2004.